Sederhananya, jika pers mahasiswa ingin bergerak dengan ‘tersadar’ (dan bermanfaat) sebagai bagian tidak terpisahkan dari rakyat dan masyarakat, diperlukan perumusan-oleh-dirinya-sendiri semacam paradigma yang tak hanya mengekor pada pers umum dan tidak melulu bicara di tataran teknis-mekanis-praktis. Sudah selayaknya hal ini ditempatkan lebih pada ranah filosofis sebagai bantuan sekaligus pagar dimana dia dapat bereksploitasi, dan berkreasi, dengan batas-batas yang dibuatnya sendiri. Kalau memang konteks hari ini menuntut pers mahasiswa untuk mengkritik atau bahkan menghancurkan rejim, sudah menjadi keharusan bagi pers mahasiswa untuk melaksanakannya dengan landasan dan bentuknya sendiri. Karena wilayah etika dan kepatutan, apalagi diranah pers mahasiswa bukanlah sesuatu pembicaraan ‘baik-buruk’ atau ‘benar-salah’, namun lebih pada bagaimana menuju kesesuaian dengan dirinya sendiri, tentu saja dengan melihat diselilingnya.
(sumber : majalah mahasiswa universitas jember : tegalboto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar