Kematian bukan
kefaktaan manusia. Mati sebagai manusia berarti mati sekaligus secara sosial. Cara
berada manusia di dalam “yang sosial” adalah cara berada transaksional. Mati bukan
suatu “cara berada”. Pengalaman itu tidak transaksional. Tetapi mengapa dia
menjadi referensi filsafat? Bahkan ia meng-indeks-kan berbagai “ cara berada”
manusia. Sosial-eksistensial.
Kematian yang
difilsafatkan adalah upaya untuk menyudahi keragu-raguan: bahwa yang mati
adalah “kontruksi sosial” yang memelihara referensi si tubuh. Jadi, tubuh yang
mati adalah manusia minus referensi sosiologinya. Tubuh yang terurai bumi
adalah tubuh yang ditinggalkan oleh referensi sosialnya. Seketika yang sosial
berhenti maka energi antropologis tubuh juga lenyap. Yang sosial berpindah
menjadi mineral.
Ada kenangan yang
tertinggal, lalu tumbuh dalam referensi baru: “pikiran beliau”, “teladan”, “cita-cita”,
dan seterusnya. Tetapi politik kenangan ini juga adalah politik
kesewenang-wenangan para pedagang memorabilia: memanfaatkan kematian untuk
menyambung kehidupan. Biografi ditulis untuk mengenang si mati, tapi untuk
mensiasati kehidupan. Dalam biografi, kematian digunakan untuk mensubsidi
kehidupan. Di situ, kematian adalah kepentingan mereka yang hidup.
Jadi, sebetulnya,
karena manusia bukan sesuatu yang “menggeletak begitu saja”, maka kematian
membangkitkan pertanyaan eksistensal: “mengapa hidup harus ada?”
Bila kematian harus
diperlukan sebagai ruang belajar survivalitas manusia, maka kematian tidak
boleh diberi batu nisan strukturalisme.
Sumber : Muhammad Damm,
2011, KEMATIAN : Sebuah Risalah Tentang Eksistensi dan Ketiadaan, Depok, Kepik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar