Jumat, 28 Juni 2013

Pesan ini akan tiba kepadamu


Pesan ini akan tiba kepadamu
entah dengan cara apa.
Bahasa yang kutahu kini hanyalah perasaan.
Aku memandangimu tanpa perlu menatap.
Aku mendengarkanmu tanpa perlu alat.
Aku menemuimu tanpa perlu hadir.
Aku mencintaimu tanpa perlu apa-apa.
Karena kini kumiliki segalanya.
Kupandangi langkahmu yang ringan dan tampak seperti melayang,
berjalan dengan irama konstan.
Engkau tak seperti orang yang berjalan di atas pasir,
yang kebanyakan tampak berat dan canggung.
Barangkali karena telah ratusan kali kau lakukan itu,
menyendiri di tepi pantai,
menyusuri garisnya seperti mengurut urat laut.
Tapak kakimu sudah tahu bagaimana bersahabat dengan pasir yang kadag menggembung dan kadang mengempis dimainkan napas ombak.
Matamu mencari bola merah yang disembunyikan arakan awan mendung.
Sesekali kau buang pandangan ke arah lain,
sekedar menyakinkan kau tak sendiri di dunia ini,
karena seringnya engkau berharap demikian.
Sesekali pula kau buang pandangan ke belajan langit di bahu kananmu,
yang berwarna-warni antara ungu, biru, dan abu,
yang menggetarkanmu sama hebatnya dengan bola merah yang kau telisik sejak tadi.
Pesan itu akan tiba kepadamu, bathinku.
Namun entah dengan cara apa.

Sabtu, 22 Juni 2013

BUNUH DIRI



Bunuh diri sering kali dibicarakan dalam kaitannya dengan moral, dibicarakan untuk dinilai, diputuskan salah, atau diberi pembenaran. Tema moral inilah yang selama ini mendominasi pembicaraa, alasan untuk mengutuk, membenarkan, atau bahkan menyanjungnya, kemudian dicari dari latar atau motif yang mendorong seseorang untuk mati dengan tangannya sendiri.

Dalam hal ini, yang jadi pokok persoalannya bukanlah kematian orang yang bersangkutan, melainkan keputusannya yang mengakhiri hidup. Apakah dapat dibenarkan atau disalahkan jika seseorang memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri? Atau atas alasan apa kita bisa mengutuk, memaklumi, bahkan membenarkan keputusan seseorang untuk melakukan bunuh diri?

Kita hanya mempercakapkan bunuh diri dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Dan berusaha menjawabnya dengan menilai bahkan menghakimi hidup seseorang yang melakukannya. Pada akhirnya, penilaian kita hanyalah pengungkapan verbal rasa simpati atau entipati terhadap peristiwa dan pelakunya lantaran sebagian orang sudah demikian percaya bahwa bunuh diri tercela dan tak boleh dilakukan, apapun alasannya, dan bagaimanapun situasinya, sementara sebagian lain menganggap bahwa kematian tentunya masih lebih baik daripada hidup menderita dan semakin menderita dari hari ke hari. Alasan yang mendasari sikap mengutuk atau membenarkan itu sendiri tidak pernah diperiksa.

Pelarangan atas bunuh diri seringkali diturunkan dari keyakinan bahwa hidup dan mati adalah urusan Tuhan. Adapun pembenarannya hampir selalu diturunkan dari gagasan bahwa sebagaimana hidup, mati pun merupakana hak setiap orang sebagai individu otonom. Dalam hal ini, hidup dan mati lebih dipahami sebagai hak milik orang per orag sehinggan keputusan untuk bunuh diri sepenuhnya dikembalikan kepada individu yang bersangkutan.

Orang lain boleh saja mempengaruhi dan mencegah seseorang menjalankan haknya tersebut, tapi tak seorangpun boleh mengambilnya. Tak seorang pun punya hak untuk memaksanya melakukan atau tidak melakukan tindakan tersebut.

Jumat, 21 Juni 2013

Selamat Ulang Tahun





Hei, aku sedang menebak-nebak, kira-kita prosesi apa yang tengah kamu siapkan untuk hari ulang tahunmu. Apakah kamu selalu tergila-gila terhadap prosesi? Segala sesuatu harus dihantarkan dengan sempurna dan terencana. Perayaan dan peringatan menyesaki kalender kita sepanjang tahun, dan tidak pernah kamu bosan, bahkan kamu semakin ahli.

Malam ini maukah kamu menantangku berhitung dengan stop-watch. Teleponku akan berdering tepat setangah jam lagi. Sungguh, kamu sudah hebat sehebat itu. Menjadi pemimpin. Janjimu adalah matahari yang terbit dan terbenam tanpa keliru.

Sambil menunggu izinkan aku berkelekar mengenai kamu, hujan dan sayap. Sejak keberadaanku di sini, kamu selalu saja terobsesi dengan mahkluk yang bernama hujan, atau barangkali makhluk yang bersayap. Kamu percaya bahwa manusia hujan itu adalah makhluk termulia. Karena ia akan membeningkan seluruh isi dunia.
Aku ingin percaya kamu cukup cerdas untuk tidak mencoba terbang kemari. kalaupun itu bisa terjadi, aku khawatir kamu akan mati kedinginan di jalan.

Dengan caramu mengagungkan momentum, kamu membuatku ikut percaya betapa sakralnya tiup lilin atau tiup terompet yang akan jatuh tepat pada waktunya. Kamu membuatku percaya ada poin tambahan jika memperlakukan hidup seperti arena balap lari.
Namun, imanku pada arena itu luruh dalam satu malam karena kegagalanmu mencapai garis finis. Lihatlah detik itu, jarum jam itu, momentum yang tak lagi berarti di detik pertama kamu gagal mengucapkan apa yang harusnya kamu ucapkan...lima menit yang lalu...

Aku tidak tau kemalangan jenis apa yang menimpa kamu, tapi aku ingin percaya ada insiden yang cukup dahsyat di dunia serbaseluler ini hingga kamu tidak bisa menghubungiku. Mungkinkah matahari lupa ingatan lalu keasyikan terbenam atau terlambat terbit? Bahkan kiamat pun hanya bicara soal arah yang terbalik, bukan soal perubahan jadwal.

Atau mungkinkah ini akan jadi salah satu tanda kiamat kecil yang orang lain ramai gunjingkan. Tentang manusia perempuan dan laki-laki. Dan kalau mereka mau menengok sejarah manusia ribuan tahun terakhir ini.

Tidakkah tanda semacam itu sudah apkir, klise, dan kiamat harus menyiapkan tanda-tanda baru bila masih ingin jadi hari yang paling diantisipasi, dengan misalnya mengadopsi yang terjadi malam ini? Malam dimana kamu terlambat mengucapkan apa yang harus kamu ucapkan...satu jam yang lalu...

Suatu waktu nanti, saat kamu berhenti percaya manusia bisa menyukai hujan dan punya sayap selain lempeng besi yang didorong mesin jet, saat kamu berhenti percaya hidup lebih bermakna bila ada wasit menyalakkan aba-aba 1,2,3, kamu boleh terus percaya bahwa kemarin...besok...lusa...dan hari-hari sesudah itu...aku masih di sini. Menunggu kamu mengucapkan apa yang harusnya kamu ucapkan...berjam-jam yang lalu.

to : 10 agustus 2013

Senin, 17 Juni 2013

Merayakan Kematian





Apa yang kita kenal sebagai teka-teki epikurean tak pernah bisa kita abaikan selagi membicacarakan kematian. Selama kita hidup, kematian tidak ada, dan ketika kematian datang kita yang tak ada lagi. Apa yang kita dapati dalam teka-teki ini adalah ketiadaan subjek tepat pada momen ketika kematian itu datang.

Dalam pengalaman yang mana pun subjek selalu hadir, namun di dalam kematian, subjek absen. Sebaliknya, selagi subjek itu ada, kematianlah yang absen. Absennya subjek inilah yang secara persis membuat teka-teki tersebut sulit sekaligus menarik.

Hal inilah yang menjadi gagasan paling dasar di dalam bangunan pemahaman kita mengenai kematian sebagai negativitas. Kematian ada sebagai ketiadaan subjek. Namun pemahaman paling jauh yang bisa kita peroleh buknlah gagasan bahwa kematian meniadakan subjek atau meniadakan hidup seseorang, melainkan bahwa kematian tidaklah relevan dengan keberadaannya. Hal inilah lantaran di satu sisi, kematian dan keberadaan adalah dua kondisi yang tidak bisa ada bersama-sama, dan di sisi lain, kita tak tahu secara persis hal esensial apa yang diambil oleh kematian dari kita.

Wittgestein (2004:38) menyatakan bahwa kematian bukanlah bagian dari kejadian di dalam kehidupan. Dengan kata lain, kematian bukanlah bagaian dari bangunan dunia manusia. Kematian menurutnya sekadar tidak lagi mengalami apa-apa. Hal ini tak lain karena yang kita namakan pengalaman adalah segala sesuatu yang kita temui dan kita dapatkan sejauh kita hidup.

Oleh karena kematian bukan bagian dari dunia manusia. Kejadiannya sendiri tidak mengubah apa pun dari dunia ini, melainkan membawanya pada keberakhiran. Bagi seseorang yang terhadapnya kematian telah datang, dunia pun tak ada lagi. Atau setidaknya, ia sendiri sudah tak ada untuk memastikan bahwa bumi masih tetap berputar dan orang-orang, baik yang ia kenal maupun tidak, masih melanjutkan hidup mereka.

Selama ini kita yakin bahwa dunia ini sudah ada sebelum kita lahir da akan tetap ada setelah kita mati semata-mata karena kita melihat sebagian orang sudah mendiaminya sebelum kita. Sebagian lagi meninggalkanya dan meninggalkan kita, sementara sebagian lainnya datang kemudian setelah kita, keyakinan tersebut tumbuh lantaran kita melihat kelahiran, kehidupan dan kematian.

Pengulangan dari ketiga hal inilah yang kita namakan lingkaran kehidupan. Kita hanya bisa memahami gagasan Wettgenstein ini dengan menganggap bahwa ketika membicarakannya, Wittgenstein sendiri sedang berusaha melihatnya dari sudut pandang orang pertama, yaitu dengan membayangkan bahwa dialah orangnya yang sedang menghadapi kematiannya sendiri.

Sebagaimana Wettgenstein, kita pun bisa membayangkan dan meyakini bahwa suatu saat akan tiba giliran kita untuk menghadapi kematian kita sendiri. Keyakinan ini agaknya tidak kita pelajari dari pengalaman langsung kita selama mendiami dunia. Dengan kata lain, kita tidak pernah memperolehnya dari pengalaman tubuh kita sendiri. Meskipun beberapa dari kita pernah mengalami mati suri, namun kedua pengalaman tersebut dan pengalaman lain yang serupa, bahkan sekedar tidur lelap, tak lebih dari pengalaman hidup yang kita bayangkan sebagai pengalaman yang menyerupai kematian. 

Ini hanyalah pengalaman seolah-olah mati, dan yang seolah-olah itu tentu bukan. Paling jauh hal-hal semacam ini kita perlakukan sebagai analog untuk membuat model kematian. Dari sini kita melihat bahwa pengertian kematian mencakup ketidakmungkinan untuk kembali kedunia atau ke kehidupan kita yang sekarang. Kematian berkenaan dengan keberakhiran yang sifatnya permanen. Sebentuk kehidupan yang telah mati tidak mungkin hidup kembali. Kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang yang bangkit dari mati sore benar-benar bangkit dari kematian, orang-orang saja yang terlampau cepat memutuskan bahwa dia telah mati, padahal belum.

Meskipun demikian, gagasan bahwa kematian bersifat permanen sebenarya tidak seterang kelihatannya, tidak pula terbukti dengan sendirinya. Sejauh ini, kita hanya tak bisa membuktikan atau tidak menemukan bukti mengenai hal yang sebaliknya. Kita asumsikan bahwa kehidupan tak lebih dari fenomena yang dihasilka oleh adonan materi yang pas, meskipun tak pernah jelas bagaimana hidup bisa muncul dari kesatuan unsur-unsur itu. Sebagaimana layaknya eksperimen pikiran, hal ini sebenarnya tidak membuktikan apa-apa, tidak membuktikan bahwa kematian tak harus bersifat permanen. Namun, setidaknya, hal ini menunjukkan bahwa dalam eksperimen pikiran kematian yang tidak permanen adalah hal yang masuk akal.

Sejauh ini kita dapati bahwa tak seorang pun pernah mengalami kematian. Tak terhitung orang-orang yang telah mati sebelum kita. Tapi mereka mati, bukan mengalaminya. Tapi sering pula kita dengar orang-orang bilang kematian itu menyakitkan, kalaupun hal itu benar, maka rasa sakitlah yang kemudian kita rasakan ketika kematian datang, kita merasakan sakit, tapi bukan merasakan mati. 

Kematian adalah hal yang paling manusiawi yang dipelajari dan diajarkan bukan dengan pengalaman, melainkan dengan cerita, dongeng, ritual, upacara, atau berbagai bentuk perayaan yang lainnya.

Rabu, 12 Juni 2013

KEHIDUPAN



Sebagai manusia jelas kita memiliki perbedaan dalam menjalankan kehidupan dan kehidupan bukanlah sekedar rutinitas.
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita mencurahkan potensi diri kita untuk orang lain.
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita berbagi suka dan duka dengan orang yang kita sayangi.
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita bisa mengenal orang lain.
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita membantu kepada sesama.
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita mencintai pasangan kita, orang tua kita, saudara, serta mengasihi sesama kita.
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita belajar dan terus belajar tentang arti kehidupan.
Kehidupan adalah kesempatan untuk kita selalu mengucap syukur kepada allah yang maha kuasa.