Hari pertama : Pulang
kampung
Ujian akhir semester
tujuh sudah selesai, sama seperti biasa libur habis ujian adalah hal yang
paling ditunggu-tunggu oleh sebagian mahasiswa, tak terkecuali aku. Kesempatan bagiku
Pulang kerumah sendiri, bukan berarti plong. Aku pulang hanya sementara dan
hanya melepas segelimit kangen kepada kampung dan seluruh isinya.
Hari senin pagi jam 8
aku sudah berangkat ke terminal pal 6 Banjarmasin, diantarkan dengan ojek,
sesampainya disana aku langsung dapat taksi jurusan Amuntai. “Amuntai bang?”
tanyaku. “Oke. Masuk masuk, sebentar lagi mau berangkat,” paman taksi sambil
mendorong aku masuk kedalam. ‘Mau
berangkat apanya nih, manusianya saja baru satu, aku,’ gumamku dalam hati.
Biasanya trik paman taksi bila ada penumpang yang satu jurusan bisa saja masuk,
kadang bisa juga ditengah jalan bertukar taksi.
Aku tidak terlalu banyak bicara, karena tidak ada
teman, duduk manis sambil mendengarkan musik di telepon genggam lebih
mengasyikkan. Tak lupa tidur.
Perjalanan Banjarmasin
menuju kota Amuntai menggunakan taksi cukup lama, hampir setangah hari, maklum
taksi bisa saja beberapa kali singgah dijalan. Makan. Kencing. Hari tepat tiga
tahun setengah sudah aku menuntut ilmu dibanua orang. Aku tak pernah
membayangkan aku akhirnya sangkut untuk kuliah di Banjarmasin. ‘Aku tidak akan pernah merubah penampilanku
nanti, aku ingin merubah pola pikirku selama ini,’ aku lebih banyak
berpikir.
Amuntai kota yang juga
disebut kota bertakwa, menjadi tempat kedua tempatku menuntu ilmu dulu. Jujur
aku mengenal tempat itu secara bertahap. Sungguh tuhan maha rapi menentukan ini
semua. Tapi kota amuntai bukan tempat masa kecilku, namun jauh dari itu salah
satu desa terasri yang pernah aku rasakan dan diami. Sungai Turak telah banyak
membuat masa kecilku entah itu bahagia. Cukup
“Bos bangun!” anak muda
disampingku menggoyangkan bahuku. Aku berpikir sambil merem tiduran. Tepat jam
12 siang Terminal Antasari terlihat riuh, ada banyak tukang ojek yang menawarkan
jasanya. “Ojek mang, ojek mang,” suara tukang ojek. Aku saja belum turun sudah
dibawakantas kecilku. “Ah payah!” aku langsung turun. “Ojek bang ke sungai
turak, berapa?” aku merapikan tas mengusap wajah yang panas. “20 ribu,” menudurkan
helm. “Larangnya[1]
bang! 10 ribu aja,” tawarku. “15 ribu aja lah, bensin lagi susah nih,”
balasnya. “Ah kalau banyak tawar lama lama pulangnya, sedangkan ojek yang lain
pun sama, oke bang,” lanjutku.
Rumah kayu yang terbuat
dari ulin itu tampak masih sama seperti dulu, bedanya hanya tambah kusam. Aku
menatap semua disekelilingku.Melihat berbagai perubahan hingga saat ini.
Kepulanganku tak lebih hanya mengisi bak yang tumpah dengan rasa kangen kepada
keluarga dan rumah. Rumah yang selamanya akan aku tuju bila kembali dari sebuah
mimpi dan harapan yang aku jalani di banua orang. Rumah ini adalah normalitas
bilamana semuanya telah lelah untuk mengejar, berharap dan melepas asa. Mengadu
kepada orang-orang yang menyayangi, kemudian menangis dan menjadi ruang hampa.
Sebenarnya aku masih
kurang betah dirumah ini, aku ingin berkeliling entah kemana untuk melupakan
dan melepas diri sesuka hati. Melepas bukan berarti bebas ada ikatan yang
terjalin dihati dan dipikiran bahkan didalam jiwa raga ini. Kembali adalah
melepas rindu. Aku hanya berlari untuk mengejar takdir walau takdir itu sudah
memiliki garis, bukan berarti tidak bisa diubah. Semua menjadi permainan yang
indah dihadapan mata. Hidup senang dan susah adalah permainan Tuhan, namun
manusia begitu tidak merasakan.
Kembali kesini sama
saja kembali untuk diam dan merasakan masa lalu, mengingat tempat-tempat yang
bersejarah hingga aku seperti ini. Tak banyak yang bisa aku perbuat, menahan
diri adalah yang aku lakukan. Aku tidak lagi ke sawah, aku tidak lagi berteman.
Aku hanya dirumah untuk membaca dan menulis dalam ruang yang pagi-pagi sudah
menjadi gelap
Setelah makan,
beraktifitas sementara adalah pengobat bosan dengan kesunyian, hanya seperti
itu-itu saja, tapi semua bisa bertahan dan memiliki arti. Walaupun hidup hanya
seperti ini saja. Bersyukurlah yang mampu membuatnya bertahan.
Aku belum mampu
memberikan banyak arti di kehidupan ini, hanya secuil yang aku dapatkan
sehingga aku menjadi seperti sekarang. Makan selalu disediakan seperti dulu
kala. Aku dianggap istimewa, karena akulah harapan, akulah satu-satunya harapan
untuk rumah ini, harapan untuk bisa mengubah semuanya agar dihari depan semua
bisa khusuk beribadah.
Aku langsung masuk
kerumah. Istirahat.
Hari kedua : Malam
Nisfu Dikampungku
“Pakai tapih pang!”[2]
mama menyuruhku pakai sarung untuk ke langgar. Selama ini selama aku kuliah
sangat jarang sekali menggunakan sarung untuk shalat. Kecuali sesekali saja.
Aku tak banyak cakap, langsung aja aku pakai sarung, tapi sayang kopiah ku tertinggal
dikamar kos. “Kopiahnya kadada Ma,”[3]
aku mencoba mencarinya didalam tas, kali
aja ada. “Sudah pakai kopiah abahmu aja, itu ada dua. Ini sudah azan magrib,
orang sudah tulakan[4],”
biasa mamaku terbilang panggasakan[5]
orangnya.
Malam ini ritual sakral
akan dimulai, malam nisfu sya’ban. Hingga sampai saat ini aku tak terlalu
mengetahui dari mana asal-usulnya, tapi aku sedikit tahu bahwa ritual ini ada
dijelaskan dibuku ar-risalah,
disebutkan bahwa pada malam Nisfu Sa’ban disunnatkan membaca surah yasin sebanyak
3 kali dengan niat masing-masing 1. Disehatkan badan dan dipanjangkan umur, 2.
Mendapatkan rezeki yang banyak dan halal tetapi berkah, 3. Dan ditetapkan iman
selama hidup didunia. Aku rasa niat ini sudah mewakili sebuah kehidupan yang
luas ini untuk dijalani atau bahkan sudah kita jalani dan saat ini sedang
berjalan.
Setiap tahun, selama 20
tahunan lebih aku selalu mengikuti ritual ini. Di langgar kesayangan
orang-orang kampung. Dengan wajah-wajah tua dan anak-anak yang silih berganti.
Semuanya megingatkan aku pada masa lalu, yaa masa lalu yang itu-itu saja namun
sangat memberikan arti bagiku. Semua tak berubah, semua masih hampir sama dari
dulu. Yang berubah hanyalah materi manusia disini sudah mulai tua, anak-anak
disini baru-baru, dan lingkungan disini juga sudah mulai melihatkan
perubahannya.
Langgar yang bernama
Nurul Huda sudah mulai dipadati oleh masyarakat kampung semua berkumpul, untuk
melaksanakan ritual sakral ini sudah sangat melekat sekali dihati orang-orang
kampung disini. Anak-anak hiruh pikuk, dan orang tua memakai sarung lengkap
dengan pakaian muslimnya. Air dengan berbagai gelas disuguhkan dimuka imam guna
untuk mengambil berkah dari bacaan yang akan dibaca bersama nanti. Tak
ketinggalan nasi kuning khas diantar sebelum magrib dirumah salah satu warga
untuk dihidangkan apabila ritual ini sudah selesai.
Diawali dengan shalat
magrib berjamaah langgar ini padat dengan manusia. Ritual akan segera dimulai.
Ritual sembahyang sunat namanya. Sebutan sembahyang ini adalah sembahyang
mutlak atau sembahyang sunat sebanyak 3 kali dan diakhirnya membaca surah yasin
sebanyak 3 kali pula dengan menyelipkan niat yang tiga tadi. Selesai
dilanjutkan lagi dengan shalat taubat, shalat memelihara iman, dan shalat
tasbih. Terakhir shalat isya. Dengan shalat isya maka berakhir sudah ritual
malam nisfu sa’ban ini. Makan bersama menjadi pelega semuanya manakala dirasa
lelah. Kebersamaan kembali rekat dan lagi-lagi suasana ini mengingatkanku akan
masa lalu. Sepertinya aku tak terlalu bertahan lama disini. Masih banyak hal
yang harus aku lakukan lagi diluar sana.
Berharap semua doa yang
dipajatkan akan terkabulkan ditahun ini dimalam ini. Untuk menyungsung bulan
agung yakni bulan Ramadhan..
Besok puasa sunat
kembali akan dilaksanakan sebagai pelengkap ritual malam nisfu, sebagai
penghormatan akan bulan ini salah satu bulan yang diistimewakan oleh Allah.
Yang jadi pertanyaan
apakah aku akan tetap seperti ini saja? Tentu aku akan terus mencari...ritual
dan asyik dengan pekerjaan itu saja sudah cukup bagi masyarakat disini. Peka
terhadap sesuatu adalah hal yang tabu, kecuali anak-anak mereka yang dididik
dilembaga pendidikan itupun belum menjamin. Menerima dan menjalani kenyataan
hidup seperti ini ya sudahlah seperti ini apa adanya. Kultur yang masih sangat
sederhana sekali. Sedangkan perlahan-lahan akan berubah dan tidak akan merubah
kultur yang ada didesaku ini. Aku sendirilah yang berubah kultur, namun
semuanya akan berdampak dikampung ini.
Hari ketiga : Pagi Hari
Disawah
Setelah shalat shubuh
berjamaah, sebenarnya sudah aku rencanakan dihari sebelumnya aku akan
jalan-jalan mengunjungi sawah-sawah yag ada dibelakang rumahku dan dibelakang
rumah orang. Dengan jalan setapak agak luas, sepertinya jalan ini baru yang
menghubungkan dengan sebuah jembatan kayu ulin yang lumayan agak panjang. Semua
orang pulang ke rumah masing-masing, aku langsung berbelok tanpa menghiraukan
orang lain. Pagi ini masih jam 6, baik sekali untuk kesehatan badan terutama
udara yang bersih. Jarang-jarang pagi-pagi aku kesawah kalau tidak pulang
kampung seperti ini.
“Eh elhami kah nih?”[6]
abah Ulu Mani menegurku disela masih gelap dan embunnya pagi. “Iya Julak, Elhami,”.
“Pabila bulik sumalam?”[7]. “Jam 12, kamana pian?”[8]
aku tersenyum. “Biasa, menukui iwak,” abah ulu langsung menerobos pagi bersama
jukungnya. Sebagian besar pekerjaan dikampung ku adalah petani dan pencari
iwak. Kebetulan musim tahun ini adalah musim tanam padi, semuanya sudah
ditanam, dan kebiasaannya sambil menunggu panen, orang tua beralih menjadi
pencari ikan, termasuk abahku.
Matahari dengan cahaya
purnamanya masih bersinar dengan indahnya, bintang besar dan kecil masih
terlihat nampak ditambah dengan awan yang masih enggan untuk muncul,
seolah-olah ingin menunjukkan kecantikan langit pada hari ini. Langit bersih
itulah kesimpulanku, namun ini adalah pertanda bahwa hari ini akan sangat panas
sekali. Aku berjalan sambil menghirup udara segar ini, sambil menoleh-noleh
kesana kemari, semua ini mengingatkanku pada masa aku masih diam dikampung ini
beberapa tahun yang lalu. Sawah adalah mata pencaharian utama bagi warga penduduk
dikampung ini, aku sudah lama tidak menyentuh padi, menyentuh tanah becek, ikut
menanamnya, sampai masak dan akhirnya benih tersebut sampai kerumah. Proses ini
sudah lama aku tinggalkan. Jujur aku kangen dengan semua ini. Bagiku mengenang
itu melegakan, aku suka mengenang dan akupun suka memberikan kenangan. Sawah
ini telah mengais-ngais semua kenanganku disini. Aku menghamparkan harapan,
keinginan dan cita-cita dipadang yang luas ini, agar nanti tumbuh
benih-benihnya yang siap aku petik.
Semua masih
menyaksikanku, hamparan hijau benih yang baru ditanam, disini dengan cahaya
purnama dan bintang-bintang, dan matahari masih malu-malu menampakkan diri
hanya merah yang keluar. Aku berjanji pada diriku sendiri aku akan selalu
mengenang semua apa yang terjadi dalam hidupku ini.
Aku langsung balik
menuju rumah untuk makan nasi goreng kesukaanku.
Hari ketiga : Sore Hari
Dikampungku
Kamis pagi tepatnya
selesai shalat subuh nanti aku akan kembali lagi ke banjarmasin. Namun rabu
sungguh sayang untuk dilewatkan. Sore ini sangat mencerahkan sekali karena
bawaan siang yang cerah dan panas sehingga berdampak terhadap sore hari ini.
Kebiasaan-kebiasaan yang dari dulu hingga sekarang tetap saja ada seperti
terpelihara oleh waktu walau generasi-generasi mulai bergantian, selama orang
tua masih ada maka akan tetap ada kebiasaan itu. Duduk diteras rumah,
berkendaraan sambil membawa anak, sekedar mencari angin, menunggu waktu magrib
tiba dan menunggu buka puasa. Ini sebagian kebiasaan yang ada dikampungku.
Salah satu teman lamaku
menghampiriku diteras saat aku duduk. “Kayapa
habarnya Mi?”[9]Iyi
teman lamaku ini sudah banyak memberikan pertemanannya waktu aku masih disini.
Dan karena dia lah juga aku termotivasi untuk kuliah keluar daerah. Jujur saja
aku termasuk orang yang lebih suka sendiri. Menurutku sendiri itu akan banyak
mengambangkan diri. Berpisah sama teman lama adalah keputusan bijak. “Baik-baik
aja nih, besok balik lagi,” kataku. Kami tak banyak bicara hanya menanyakan
kabar. Kini ia memiliki usaha ternak itik dibelakang rumahnya dan sambil masih
nyantri disalah satu pesanteran di Amuntai. Kami duduk santai saja sambil
menunggu azan magrib.
Lalu lalang kendaraan
membuatku iri. Akupun tidak terlalu memperdulikan, karena aku sendiri tak
pernah jalan-jalan lagi selama ini. Diam dirumah dimuka teras rumah aku rasa
sudah cukup untuk melihat orang-orang yang lalu lalang, yang sepertinya hanya
pamer sesuatu yang tidak aku punya selama ini dan sampai saat ini. Meski malu,
iri dan sampai kapan aku bisa mempunyai sesuatu itu.
Yang aku pikirkan
sekarang adalah pendidikan, ya pendidikan bagiku segala-galanya saat ini untuk
menghadapi takdir yang lebih kejam lagi. Karena pendidikan aku bisa memahami
kondisi yang semakin carut marut, harta bagi sebagian orang dijadikan oreintasi
hidup, namun kita tidak bisa mengelak bahwa itu juga perlu. Aku hanya melakukan
harta agar mencari aku, bukan aku yang mencari harta. Pendidikan kuncinya. Jadi
sore hari ini mengajarkan itu semua.
“Yuk kita ke langgar,
bareng,” iyi mengajak ku.
Semua aktivitas menjadi
sunyi, semua orang-orang kembali masuk kerumah masing-masing untuk
beristirahat. Sungguh suasana ini masih sedikit sama dengan masa kecilku. Aku
selalu sama-sama kelanggar bersama temanku ini.
kna ku sekali2 bejalan kesana,, hhe
BalasHapuspenasaran kah de hehe...
BalasHapus