Rabu, 05 Juni 2013

3 Hari di Desa Sungai Turak




Hari pertama : Pulang kampung

Ujian akhir semester tujuh sudah selesai, sama seperti biasa libur habis ujian adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh sebagian mahasiswa, tak terkecuali aku. Kesempatan bagiku Pulang kerumah sendiri, bukan berarti plong. Aku pulang hanya sementara dan hanya melepas segelimit kangen kepada kampung dan seluruh isinya.
Hari senin pagi jam 8 aku sudah berangkat ke terminal pal 6 Banjarmasin, diantarkan dengan ojek, sesampainya disana aku langsung dapat taksi jurusan Amuntai. “Amuntai bang?” tanyaku. “Oke. Masuk masuk, sebentar lagi mau berangkat,” paman taksi sambil mendorong aku masuk kedalam. ‘Mau berangkat apanya nih, manusianya saja baru satu, aku,’ gumamku dalam hati. Biasanya trik paman taksi bila ada penumpang yang satu jurusan bisa saja masuk, kadang bisa juga ditengah jalan bertukar taksi.
Aku  tidak terlalu banyak bicara, karena tidak ada teman, duduk manis sambil mendengarkan musik di telepon genggam lebih mengasyikkan. Tak lupa tidur.
Perjalanan Banjarmasin menuju kota Amuntai menggunakan taksi cukup lama, hampir setangah hari, maklum taksi bisa saja beberapa kali singgah dijalan. Makan. Kencing. Hari tepat tiga tahun setengah sudah aku menuntut ilmu dibanua orang. Aku tak pernah membayangkan aku akhirnya sangkut untuk kuliah di Banjarmasin. ‘Aku tidak akan pernah merubah penampilanku nanti, aku ingin merubah pola pikirku selama ini,’ aku lebih banyak berpikir.
Amuntai kota yang juga disebut kota bertakwa, menjadi tempat kedua tempatku menuntu ilmu dulu. Jujur aku mengenal tempat itu secara bertahap. Sungguh tuhan maha rapi menentukan ini semua. Tapi kota amuntai bukan tempat masa kecilku, namun jauh dari itu salah satu desa terasri yang pernah aku rasakan dan diami. Sungai Turak telah banyak membuat masa kecilku entah itu bahagia. Cukup
“Bos bangun!” anak muda disampingku menggoyangkan bahuku. Aku berpikir sambil merem tiduran. Tepat jam 12 siang Terminal Antasari terlihat riuh, ada banyak tukang ojek yang menawarkan jasanya. “Ojek mang, ojek mang,” suara tukang ojek. Aku saja belum turun sudah dibawakantas kecilku. “Ah payah!” aku langsung turun. “Ojek bang ke sungai turak, berapa?” aku merapikan tas mengusap wajah yang panas. “20 ribu,” menudurkan helm. “Larangnya[1] bang! 10 ribu aja,” tawarku. “15 ribu aja lah, bensin lagi susah nih,” balasnya. “Ah kalau banyak tawar lama lama pulangnya, sedangkan ojek yang lain pun sama, oke bang,” lanjutku.
Rumah kayu yang terbuat dari ulin itu tampak masih sama seperti dulu, bedanya hanya tambah kusam. Aku menatap semua disekelilingku.Melihat berbagai perubahan hingga saat ini. Kepulanganku tak lebih hanya mengisi bak yang tumpah dengan rasa kangen kepada keluarga dan rumah. Rumah yang selamanya akan aku tuju bila kembali dari sebuah mimpi dan harapan yang aku jalani di banua orang. Rumah ini adalah normalitas bilamana semuanya telah lelah untuk mengejar, berharap dan melepas asa. Mengadu kepada orang-orang yang menyayangi, kemudian menangis dan menjadi ruang hampa.
Sebenarnya aku masih kurang betah dirumah ini, aku ingin berkeliling entah kemana untuk melupakan dan melepas diri sesuka hati. Melepas bukan berarti bebas ada ikatan yang terjalin dihati dan dipikiran bahkan didalam jiwa raga ini. Kembali adalah melepas rindu. Aku hanya berlari untuk mengejar takdir walau takdir itu sudah memiliki garis, bukan berarti tidak bisa diubah. Semua menjadi permainan yang indah dihadapan mata. Hidup senang dan susah adalah permainan Tuhan, namun manusia begitu tidak merasakan.
Kembali kesini sama saja kembali untuk diam dan merasakan masa lalu, mengingat tempat-tempat yang bersejarah hingga aku seperti ini. Tak banyak yang bisa aku perbuat, menahan diri adalah yang aku lakukan. Aku tidak lagi ke sawah, aku tidak lagi berteman. Aku hanya dirumah untuk membaca dan menulis dalam ruang yang pagi-pagi sudah menjadi gelap
Setelah makan, beraktifitas sementara adalah pengobat bosan dengan kesunyian, hanya seperti itu-itu saja, tapi semua bisa bertahan dan memiliki arti. Walaupun hidup hanya seperti ini saja. Bersyukurlah yang mampu membuatnya bertahan.
Aku belum mampu memberikan banyak arti di kehidupan ini, hanya secuil yang aku dapatkan sehingga aku menjadi seperti sekarang. Makan selalu disediakan seperti dulu kala. Aku dianggap istimewa, karena akulah harapan, akulah satu-satunya harapan untuk rumah ini, harapan untuk bisa mengubah semuanya agar dihari depan semua bisa khusuk beribadah.
Aku langsung masuk kerumah. Istirahat.
Hari kedua : Malam Nisfu Dikampungku

Pakai tapih pang!”[2] mama menyuruhku pakai sarung untuk ke langgar. Selama ini selama aku kuliah sangat jarang sekali menggunakan sarung untuk shalat. Kecuali sesekali saja. Aku tak banyak cakap, langsung aja aku pakai sarung, tapi sayang kopiah ku tertinggal dikamar kos. “Kopiahnya kadada Ma,”[3] aku mencoba mencarinya didalam tas, kali aja ada. “Sudah pakai kopiah abahmu aja, itu ada dua. Ini sudah azan magrib, orang sudah tulakan[4],” biasa mamaku terbilang panggasakan[5] orangnya.
Malam ini ritual sakral akan dimulai, malam nisfu sya’ban. Hingga sampai saat ini aku tak terlalu mengetahui dari mana asal-usulnya, tapi aku sedikit tahu bahwa ritual ini ada dijelaskan dibuku ar-risalah, disebutkan bahwa pada malam Nisfu Sa’ban disunnatkan membaca surah yasin sebanyak 3 kali dengan niat masing-masing 1. Disehatkan badan dan dipanjangkan umur, 2. Mendapatkan rezeki yang banyak dan halal tetapi berkah, 3. Dan ditetapkan iman selama hidup didunia. Aku rasa niat ini sudah mewakili sebuah kehidupan yang luas ini untuk dijalani atau bahkan sudah kita jalani dan saat ini sedang berjalan.
Setiap tahun, selama 20 tahunan lebih aku selalu mengikuti ritual ini. Di langgar kesayangan orang-orang kampung. Dengan wajah-wajah tua dan anak-anak yang silih berganti. Semuanya megingatkan aku pada masa lalu, yaa masa lalu yang itu-itu saja namun sangat memberikan arti bagiku. Semua tak berubah, semua masih hampir sama dari dulu. Yang berubah hanyalah materi manusia disini sudah mulai tua, anak-anak disini baru-baru, dan lingkungan disini juga sudah mulai melihatkan perubahannya.
Langgar yang bernama Nurul Huda sudah mulai dipadati oleh masyarakat kampung semua berkumpul, untuk melaksanakan ritual sakral ini sudah sangat melekat sekali dihati orang-orang kampung disini. Anak-anak hiruh pikuk, dan orang tua memakai sarung lengkap dengan pakaian muslimnya. Air dengan berbagai gelas disuguhkan dimuka imam guna untuk mengambil berkah dari bacaan yang akan dibaca bersama nanti. Tak ketinggalan nasi kuning khas diantar sebelum magrib dirumah salah satu warga untuk dihidangkan apabila ritual ini sudah selesai.
Diawali dengan shalat magrib berjamaah langgar ini padat dengan manusia. Ritual akan segera dimulai. Ritual sembahyang sunat namanya. Sebutan sembahyang ini adalah sembahyang mutlak atau sembahyang sunat sebanyak 3 kali dan diakhirnya membaca surah yasin sebanyak 3 kali pula dengan menyelipkan niat yang tiga tadi. Selesai dilanjutkan lagi dengan shalat taubat, shalat memelihara iman, dan shalat tasbih. Terakhir shalat isya. Dengan shalat isya maka berakhir sudah ritual malam nisfu sa’ban ini. Makan bersama menjadi pelega semuanya manakala dirasa lelah. Kebersamaan kembali rekat dan lagi-lagi suasana ini mengingatkanku akan masa lalu. Sepertinya aku tak terlalu bertahan lama disini. Masih banyak hal yang harus aku lakukan lagi diluar sana.
Berharap semua doa yang dipajatkan akan terkabulkan ditahun ini dimalam ini. Untuk menyungsung bulan agung yakni bulan Ramadhan..
Besok puasa sunat kembali akan dilaksanakan sebagai pelengkap ritual malam nisfu, sebagai penghormatan akan bulan ini salah satu bulan yang diistimewakan oleh Allah.
Yang jadi pertanyaan apakah aku akan tetap seperti ini saja? Tentu aku akan terus mencari...ritual dan asyik dengan pekerjaan itu saja sudah cukup bagi masyarakat disini. Peka terhadap sesuatu adalah hal yang tabu, kecuali anak-anak mereka yang dididik dilembaga pendidikan itupun belum menjamin. Menerima dan menjalani kenyataan hidup seperti ini ya sudahlah seperti ini apa adanya. Kultur yang masih sangat sederhana sekali. Sedangkan perlahan-lahan akan berubah dan tidak akan merubah kultur yang ada didesaku ini. Aku sendirilah yang berubah kultur, namun semuanya akan berdampak dikampung ini.
Hari ketiga : Pagi Hari Disawah

Setelah shalat shubuh berjamaah, sebenarnya sudah aku rencanakan dihari sebelumnya aku akan jalan-jalan mengunjungi sawah-sawah yag ada dibelakang rumahku dan dibelakang rumah orang. Dengan jalan setapak agak luas, sepertinya jalan ini baru yang menghubungkan dengan sebuah jembatan kayu ulin yang lumayan agak panjang. Semua orang pulang ke rumah masing-masing, aku langsung berbelok tanpa menghiraukan orang lain. Pagi ini masih jam 6, baik sekali untuk kesehatan badan terutama udara yang bersih. Jarang-jarang pagi-pagi aku kesawah kalau tidak pulang kampung seperti ini.
Eh elhami kah nih?”[6] abah Ulu Mani menegurku disela masih gelap dan embunnya pagi. “Iya Julak, Elhami,”. “Pabila bulik sumalam?[7]. “Jam 12, kamana pian?”[8] aku tersenyum. “Biasa, menukui iwak,” abah ulu langsung menerobos pagi bersama jukungnya. Sebagian besar pekerjaan dikampung ku adalah petani dan pencari iwak. Kebetulan musim tahun ini adalah musim tanam padi, semuanya sudah ditanam, dan kebiasaannya sambil menunggu panen, orang tua beralih menjadi pencari ikan, termasuk abahku.
Matahari dengan cahaya purnamanya masih bersinar dengan indahnya, bintang besar dan kecil masih terlihat nampak ditambah dengan awan yang masih enggan untuk muncul, seolah-olah ingin menunjukkan kecantikan langit pada hari ini. Langit bersih itulah kesimpulanku, namun ini adalah pertanda bahwa hari ini akan sangat panas sekali. Aku berjalan sambil menghirup udara segar ini, sambil menoleh-noleh kesana kemari, semua ini mengingatkanku pada masa aku masih diam dikampung ini beberapa tahun yang lalu. Sawah adalah mata pencaharian utama bagi warga penduduk dikampung ini, aku sudah lama tidak menyentuh padi, menyentuh tanah becek, ikut menanamnya, sampai masak dan akhirnya benih tersebut sampai kerumah. Proses ini sudah lama aku tinggalkan. Jujur aku kangen dengan semua ini. Bagiku mengenang itu melegakan, aku suka mengenang dan akupun suka memberikan kenangan. Sawah ini telah mengais-ngais semua kenanganku disini. Aku menghamparkan harapan, keinginan dan cita-cita dipadang yang luas ini, agar nanti tumbuh benih-benihnya yang siap aku petik.
Semua masih menyaksikanku, hamparan hijau benih yang baru ditanam, disini dengan cahaya purnama dan bintang-bintang, dan matahari masih malu-malu menampakkan diri hanya merah yang keluar. Aku berjanji pada diriku sendiri aku akan selalu mengenang semua apa yang terjadi dalam hidupku ini.
Aku langsung balik menuju rumah untuk makan nasi goreng kesukaanku.
Hari ketiga : Sore Hari Dikampungku

Kamis pagi tepatnya selesai shalat subuh nanti aku akan kembali lagi ke banjarmasin. Namun rabu sungguh sayang untuk dilewatkan. Sore ini sangat mencerahkan sekali karena bawaan siang yang cerah dan panas sehingga berdampak terhadap sore hari ini. Kebiasaan-kebiasaan yang dari dulu hingga sekarang tetap saja ada seperti terpelihara oleh waktu walau generasi-generasi mulai bergantian, selama orang tua masih ada maka akan tetap ada kebiasaan itu. Duduk diteras rumah, berkendaraan sambil membawa anak, sekedar mencari angin, menunggu waktu magrib tiba dan menunggu buka puasa. Ini sebagian kebiasaan yang ada dikampungku.
Salah satu teman lamaku menghampiriku diteras saat aku duduk. “Kayapa habarnya Mi?”[9]Iyi teman lamaku ini sudah banyak memberikan pertemanannya waktu aku masih disini. Dan karena dia lah juga aku termotivasi untuk kuliah keluar daerah. Jujur saja aku termasuk orang yang lebih suka sendiri. Menurutku sendiri itu akan banyak mengambangkan diri. Berpisah sama teman lama adalah keputusan bijak. “Baik-baik aja nih, besok balik lagi,” kataku. Kami tak banyak bicara hanya menanyakan kabar. Kini ia memiliki usaha ternak itik dibelakang rumahnya dan sambil masih nyantri disalah satu pesanteran di Amuntai. Kami duduk santai saja sambil menunggu azan magrib.
Lalu lalang kendaraan membuatku iri. Akupun tidak terlalu memperdulikan, karena aku sendiri tak pernah jalan-jalan lagi selama ini. Diam dirumah dimuka teras rumah aku rasa sudah cukup untuk melihat orang-orang yang lalu lalang, yang sepertinya hanya pamer sesuatu yang tidak aku punya selama ini dan sampai saat ini. Meski malu, iri dan sampai kapan aku bisa mempunyai sesuatu itu.
Yang aku pikirkan sekarang adalah pendidikan, ya pendidikan bagiku segala-galanya saat ini untuk menghadapi takdir yang lebih kejam lagi. Karena pendidikan aku bisa memahami kondisi yang semakin carut marut, harta bagi sebagian orang dijadikan oreintasi hidup, namun kita tidak bisa mengelak bahwa itu juga perlu. Aku hanya melakukan harta agar mencari aku, bukan aku yang mencari harta. Pendidikan kuncinya. Jadi sore hari ini mengajarkan itu semua.
“Yuk kita ke langgar, bareng,” iyi mengajak ku.
Semua aktivitas menjadi sunyi, semua orang-orang kembali masuk kerumah masing-masing untuk beristirahat. Sungguh suasana ini masih sedikit sama dengan masa kecilku. Aku selalu sama-sama kelanggar bersama temanku ini.



[1] Mahalnya
[2] “Pakai sarung dong!”
[3] “Kopiahnya tidak ada Ma,”
[4] Berangkat
[5] Suka mendesak
[6] “Eh ini Elhami ya?”
[7] “Kapan kemarin pulangnya?”
[8] “Jam 12. Bapak mau kemana?”
[9] “Bagaimana kabarnya Mi?”

2 komentar: