Senin, 17 Juni 2013

Merayakan Kematian





Apa yang kita kenal sebagai teka-teki epikurean tak pernah bisa kita abaikan selagi membicacarakan kematian. Selama kita hidup, kematian tidak ada, dan ketika kematian datang kita yang tak ada lagi. Apa yang kita dapati dalam teka-teki ini adalah ketiadaan subjek tepat pada momen ketika kematian itu datang.

Dalam pengalaman yang mana pun subjek selalu hadir, namun di dalam kematian, subjek absen. Sebaliknya, selagi subjek itu ada, kematianlah yang absen. Absennya subjek inilah yang secara persis membuat teka-teki tersebut sulit sekaligus menarik.

Hal inilah yang menjadi gagasan paling dasar di dalam bangunan pemahaman kita mengenai kematian sebagai negativitas. Kematian ada sebagai ketiadaan subjek. Namun pemahaman paling jauh yang bisa kita peroleh buknlah gagasan bahwa kematian meniadakan subjek atau meniadakan hidup seseorang, melainkan bahwa kematian tidaklah relevan dengan keberadaannya. Hal inilah lantaran di satu sisi, kematian dan keberadaan adalah dua kondisi yang tidak bisa ada bersama-sama, dan di sisi lain, kita tak tahu secara persis hal esensial apa yang diambil oleh kematian dari kita.

Wittgestein (2004:38) menyatakan bahwa kematian bukanlah bagian dari kejadian di dalam kehidupan. Dengan kata lain, kematian bukanlah bagaian dari bangunan dunia manusia. Kematian menurutnya sekadar tidak lagi mengalami apa-apa. Hal ini tak lain karena yang kita namakan pengalaman adalah segala sesuatu yang kita temui dan kita dapatkan sejauh kita hidup.

Oleh karena kematian bukan bagian dari dunia manusia. Kejadiannya sendiri tidak mengubah apa pun dari dunia ini, melainkan membawanya pada keberakhiran. Bagi seseorang yang terhadapnya kematian telah datang, dunia pun tak ada lagi. Atau setidaknya, ia sendiri sudah tak ada untuk memastikan bahwa bumi masih tetap berputar dan orang-orang, baik yang ia kenal maupun tidak, masih melanjutkan hidup mereka.

Selama ini kita yakin bahwa dunia ini sudah ada sebelum kita lahir da akan tetap ada setelah kita mati semata-mata karena kita melihat sebagian orang sudah mendiaminya sebelum kita. Sebagian lagi meninggalkanya dan meninggalkan kita, sementara sebagian lainnya datang kemudian setelah kita, keyakinan tersebut tumbuh lantaran kita melihat kelahiran, kehidupan dan kematian.

Pengulangan dari ketiga hal inilah yang kita namakan lingkaran kehidupan. Kita hanya bisa memahami gagasan Wettgenstein ini dengan menganggap bahwa ketika membicarakannya, Wittgenstein sendiri sedang berusaha melihatnya dari sudut pandang orang pertama, yaitu dengan membayangkan bahwa dialah orangnya yang sedang menghadapi kematiannya sendiri.

Sebagaimana Wettgenstein, kita pun bisa membayangkan dan meyakini bahwa suatu saat akan tiba giliran kita untuk menghadapi kematian kita sendiri. Keyakinan ini agaknya tidak kita pelajari dari pengalaman langsung kita selama mendiami dunia. Dengan kata lain, kita tidak pernah memperolehnya dari pengalaman tubuh kita sendiri. Meskipun beberapa dari kita pernah mengalami mati suri, namun kedua pengalaman tersebut dan pengalaman lain yang serupa, bahkan sekedar tidur lelap, tak lebih dari pengalaman hidup yang kita bayangkan sebagai pengalaman yang menyerupai kematian. 

Ini hanyalah pengalaman seolah-olah mati, dan yang seolah-olah itu tentu bukan. Paling jauh hal-hal semacam ini kita perlakukan sebagai analog untuk membuat model kematian. Dari sini kita melihat bahwa pengertian kematian mencakup ketidakmungkinan untuk kembali kedunia atau ke kehidupan kita yang sekarang. Kematian berkenaan dengan keberakhiran yang sifatnya permanen. Sebentuk kehidupan yang telah mati tidak mungkin hidup kembali. Kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang yang bangkit dari mati sore benar-benar bangkit dari kematian, orang-orang saja yang terlampau cepat memutuskan bahwa dia telah mati, padahal belum.

Meskipun demikian, gagasan bahwa kematian bersifat permanen sebenarya tidak seterang kelihatannya, tidak pula terbukti dengan sendirinya. Sejauh ini, kita hanya tak bisa membuktikan atau tidak menemukan bukti mengenai hal yang sebaliknya. Kita asumsikan bahwa kehidupan tak lebih dari fenomena yang dihasilka oleh adonan materi yang pas, meskipun tak pernah jelas bagaimana hidup bisa muncul dari kesatuan unsur-unsur itu. Sebagaimana layaknya eksperimen pikiran, hal ini sebenarnya tidak membuktikan apa-apa, tidak membuktikan bahwa kematian tak harus bersifat permanen. Namun, setidaknya, hal ini menunjukkan bahwa dalam eksperimen pikiran kematian yang tidak permanen adalah hal yang masuk akal.

Sejauh ini kita dapati bahwa tak seorang pun pernah mengalami kematian. Tak terhitung orang-orang yang telah mati sebelum kita. Tapi mereka mati, bukan mengalaminya. Tapi sering pula kita dengar orang-orang bilang kematian itu menyakitkan, kalaupun hal itu benar, maka rasa sakitlah yang kemudian kita rasakan ketika kematian datang, kita merasakan sakit, tapi bukan merasakan mati. 

Kematian adalah hal yang paling manusiawi yang dipelajari dan diajarkan bukan dengan pengalaman, melainkan dengan cerita, dongeng, ritual, upacara, atau berbagai bentuk perayaan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar