Apa yang kita kenal sebagai teka-teki epikurean tak pernah bisa kita abaikan selagi membicacarakan
kematian. Selama kita hidup, kematian tidak ada, dan ketika kematian datang
kita yang tak ada lagi. Apa yang kita dapati dalam teka-teki ini adalah
ketiadaan subjek tepat pada momen ketika kematian itu datang.
Dalam pengalaman yang mana pun subjek selalu hadir, namun di
dalam kematian, subjek absen. Sebaliknya, selagi subjek itu ada, kematianlah
yang absen. Absennya subjek inilah yang secara persis membuat teka-teki
tersebut sulit sekaligus menarik.
Hal inilah yang menjadi gagasan paling dasar di dalam
bangunan pemahaman kita mengenai kematian sebagai negativitas. Kematian ada
sebagai ketiadaan subjek. Namun pemahaman paling jauh yang bisa kita peroleh
buknlah gagasan bahwa kematian meniadakan subjek atau meniadakan hidup
seseorang, melainkan bahwa kematian tidaklah relevan dengan keberadaannya. Hal
inilah lantaran di satu sisi, kematian dan keberadaan adalah dua kondisi yang
tidak bisa ada bersama-sama, dan di sisi lain, kita tak tahu secara persis hal
esensial apa yang diambil oleh kematian dari kita.
Wittgestein (2004:38) menyatakan bahwa kematian bukanlah
bagian dari kejadian di dalam kehidupan. Dengan kata lain, kematian bukanlah
bagaian dari bangunan dunia manusia. Kematian menurutnya sekadar tidak lagi
mengalami apa-apa. Hal ini tak lain karena yang kita namakan pengalaman adalah
segala sesuatu yang kita temui dan kita dapatkan sejauh kita hidup.
Oleh karena kematian bukan bagian dari dunia manusia. Kejadiannya
sendiri tidak mengubah apa pun dari dunia ini, melainkan membawanya pada
keberakhiran. Bagi seseorang yang terhadapnya kematian telah datang, dunia pun
tak ada lagi. Atau setidaknya, ia sendiri sudah tak ada untuk memastikan bahwa
bumi masih tetap berputar dan orang-orang, baik yang ia kenal maupun tidak,
masih melanjutkan hidup mereka.
Selama ini kita yakin bahwa dunia ini sudah ada sebelum kita
lahir da akan tetap ada setelah kita mati semata-mata karena kita melihat
sebagian orang sudah mendiaminya sebelum kita. Sebagian lagi meninggalkanya dan
meninggalkan kita, sementara sebagian lainnya datang kemudian setelah kita,
keyakinan tersebut tumbuh lantaran kita melihat kelahiran, kehidupan dan
kematian.
Pengulangan dari ketiga hal inilah yang kita namakan
lingkaran kehidupan. Kita hanya bisa memahami gagasan Wettgenstein ini dengan
menganggap bahwa ketika membicarakannya, Wittgenstein sendiri sedang berusaha
melihatnya dari sudut pandang orang pertama, yaitu dengan membayangkan bahwa
dialah orangnya yang sedang menghadapi kematiannya sendiri.
Sebagaimana Wettgenstein, kita pun bisa membayangkan dan
meyakini bahwa suatu saat akan tiba giliran kita untuk menghadapi kematian kita
sendiri. Keyakinan ini agaknya tidak kita pelajari dari pengalaman langsung
kita selama mendiami dunia. Dengan kata lain, kita tidak pernah memperolehnya
dari pengalaman tubuh kita sendiri. Meskipun beberapa dari kita pernah
mengalami mati suri, namun kedua pengalaman tersebut dan pengalaman lain yang
serupa, bahkan sekedar tidur lelap, tak lebih dari pengalaman hidup yang kita
bayangkan sebagai pengalaman yang menyerupai kematian.
Ini hanyalah pengalaman seolah-olah mati, dan yang
seolah-olah itu tentu bukan. Paling jauh hal-hal semacam ini kita perlakukan
sebagai analog untuk membuat model kematian. Dari sini kita melihat bahwa
pengertian kematian mencakup ketidakmungkinan untuk kembali kedunia atau ke
kehidupan kita yang sekarang. Kematian berkenaan dengan keberakhiran yang
sifatnya permanen. Sebentuk kehidupan yang telah mati tidak mungkin hidup
kembali. Kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang yang bangkit dari mati sore
benar-benar bangkit dari kematian, orang-orang saja yang terlampau cepat
memutuskan bahwa dia telah mati, padahal belum.
Meskipun demikian, gagasan bahwa kematian bersifat permanen
sebenarya tidak seterang kelihatannya, tidak pula terbukti dengan sendirinya. Sejauh
ini, kita hanya tak bisa membuktikan atau tidak menemukan bukti mengenai hal
yang sebaliknya. Kita asumsikan bahwa kehidupan tak lebih dari fenomena yang
dihasilka oleh adonan materi yang pas, meskipun tak pernah jelas bagaimana
hidup bisa muncul dari kesatuan unsur-unsur itu. Sebagaimana layaknya
eksperimen pikiran, hal ini sebenarnya tidak membuktikan apa-apa, tidak
membuktikan bahwa kematian tak harus bersifat permanen. Namun, setidaknya, hal
ini menunjukkan bahwa dalam eksperimen pikiran kematian yang tidak permanen
adalah hal yang masuk akal.
Sejauh ini kita dapati bahwa tak seorang pun pernah mengalami
kematian. Tak terhitung orang-orang yang telah mati sebelum kita. Tapi mereka
mati, bukan mengalaminya. Tapi sering pula kita dengar orang-orang bilang
kematian itu menyakitkan, kalaupun hal itu benar, maka rasa sakitlah yang
kemudian kita rasakan ketika kematian datang, kita merasakan sakit, tapi bukan
merasakan mati.
Kematian adalah hal yang paling manusiawi yang dipelajari dan
diajarkan bukan dengan pengalaman, melainkan dengan cerita, dongeng, ritual,
upacara, atau berbagai bentuk perayaan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar